Sarana Komunikasi dan Ruang Kreasi Paroki Padre Pio Helvetia - Medan

Jumat, 04 Februari 2011

Mukjizat dan Penyembuhan


MUKJIZAT

Sungguh sulit mendefinisikan kata “mukjizat”. Mukjizat dapat dianggap sebagai wujud dari tindakan adikodrati. Juga, dapat kita katakan bahwa mukjizat adalah fenomena di mana hati tunduk pada kekuatan batin: kehendak Tuhan! Kehidupan Padre Pio penuh dengan mukjizat, tetapi kodrat dari mukjizat itu sendiri selalu ilahi. Oleh sebab itulah, Padre Pio mengundang orang untuk mengucap syukur kepada Tuhan, satu-satunya sumber mukjizat.

Ny Cleonice, yang adalah anak rohani Padre Pio, mengatakan, “Dalam masa Perang Dunia Kedua, keponakanku menjadi tawanan. Kami tidak mendengar kabar berita mengenainya selama setahun dan semua orang yakin bahwa ia telah tewas. Orangtuanya sangat khawatir mengenai putera mereka. Suatu hari, ibunya menemui Padre Pio dan berlutut di hadapan sang biarawan yang sedang duduk dalam kamar pengakuan, `Saya mohon Padre, katakanlah apakah putera saya masih hidup. Saya tak akan pergi sebelum Padre menjawab saya!' Padre Pio menaruh simpati padanya; tampak butir-butir airmata menetes di wajahnya saat ia mengatakan, `Berdirilah dan pergilah dalam damai.' Beberapa hari kemudian, tak tahan lagi melihat dukacita kedua orangtua tersebut, maka aku memutuskan untuk meminta Padre Pio melakukan suatu mukjizat. Dengan kepercayaan penuh, aku mengatakan, `Padre, saya hendak menulis sepucuk surat kepada keponakan saya Giovannino. Saya hanya akan menuliskan namanya saja pada sampul surat, sebab kami tidak tahu di mana ia berada. Padre dan malaikat pelindungmu akan membawa surat ini kepadanya di mana pun ia berada.' Padre Pio tidak menjawab, maka aku menulis surat. Sore hari, sebelum tidur, aku meletakkan surat itu di atas meja yang terletak di samping tempat tidur. Keesokan harinya, dengan terkejut, heran bercampur takut, aku mendapati bahwa surat itu tidak lagi ada di sana. Aku pergi untuk menyampaikan terima kasih kepada Padre Pio dan ia mengatakan, `Berterimakasihlah kepada Santa Perawan.' Hampir limabelas hari kemudian, keponakan kami mengirimkan balasan surat. Maka, bergembiralah semua orang dalam keluarga kami dan kami mengucap syukur terima kasih, baik kepada Tuhan maupun kepada Padre Pio.”

Seorang wanita di San Giovanni Rotondo bernama Paolina sungguh teramat baik dan saleh hingga Padre Pio mengatakan mustahil mendapatkan dosa dalam jiwanya untuk diampuni. Dengan kata lain, ia hidup untuk menuju surga. Di akhir Masa Prapaskah, Paolina sakit parah. Para dokter mengatakan bahwa tak ada lagi harapan hidup baginya. Suami dan kelima anaknya pergi ke biara untuk berdoa bersama Padre Pio dan meminta sang biarawan untuk melakukan sesuatu atasnya. Dua dari kelima anak itu menarik-narik jubah Padre Pio sembari menangis, sehingga Padre Pio marah; tetapi ia berusaha menghibur mereka dan berjanji untuk mendoakan mereka, tak lebih dari itu! Beberapa hari kemudian, di awal jam Ketujuh, sikap Padre Pio berubah. Sesungguhnya, Padre memohonkan kesembuhan bagi Paolina dan mengatakan kepada semua orang, “Ia akan bangkit pada Hari Raya Paskah.” Tetapi, pada hari Jumat Agung Paolina tak sadarkan diri dan mengalami koma. Pada hari Sabtu, setelah beberapa jam menderita, Paolina akhirnya meninggal dunia. Sebagian kerabatnya mengambil gaun pengantinnya untuk dikenakan pada jenazahnya sesuai tradisi kuno negeri itu. Sebagian kerabat lainnya lari ke biara untuk memohon Padre Pio melakukan mukjizat. Padre hanya menjawab, “Ia akan bangkit” dan lalu berjalan menuju altar untuk mempersembahkan Misa Kudus. Ketika Padre Pio mulai memadahkan Gloria dan lonceng-lonceng dibunyikan guna memaklumkan kebangkitan Kristus, suara Padre Pio menjadi parau karena isak tangis dan kedua matanya bersimbah airmata. Pada saat yang sama, Paolina bangkit. Tanpa pertolongan siapa pun, ia bangkit dari tempat tidur, berlutut dan mendaraskan Aku Percaya sebanyak tiga kali. Lalu ia berdiri dan tersenyum. Ia telah sembuh… atau lebih tepat dikatakan, “Ia telah bangkit.” Sesungguhnya, Padre Pio tidak mengatakan bahwa “ia akan sembuh” melainkan “ia akan bangkit.” Ketika ditanyakan kepadanya apa yang terjadi selama masa ia meninggal dunia, wanita itu menjawab, “Aku naik, naik, naik; dan ketika aku masuk ke dalam suatu terang yang kemilau, aku harus kembali.”

 PENYEMBUHAN

Grazia adalah seorang gadis petani berusia duapuluh sembilan tahun; ia buta sejak lahir. Grazia biasa pergi ke gereja kecil biara untuk menemui Padre Pio. Suatu ketika Padre Pio bertanya kepadanya apakah ia ingin melihat. “Tentu saja, Padre!” jawab si gadis, “tetapi aku ingin melihat hanya jika itu memang diperuntukkan bagiku, bukan karena rasa iba.” “Baiklah, engkau akan sembuh,” kata Padre Pio dan ia mengirim gadis itu ke Bari, Italia di mana ada seorang dokter yang sangat cakap, yang adalah suami dari salah seorang kawan Padre Pio. Tetapi, setelah memeriksa mata pasiennya itu, sang dokter mengatakan kepada isterinya, “Tak ada harapan bagi gadis ini! Padre Pio dapat menyembuhkannya hanya dengan suatu mukjisat, tetapi aku harus mengirim gadis ini pulang tanpa mengoperasi matanya.” Isterinya mendesak dan mengatakan kepada suaminya, “Tetapi jika Padre Pio telah mengirimkannya kepadamu…. setidaknya engkau dapat mencoba mengoperasi matanya, setidaknya salah satu dari kedua matanya.” Suaminya setuju dan mengoperasi kedua mata Grazia. Dan mata si gadis menjadi celik! Sekarang ia dapat melihat. Ketika telah pulang kembali ke San Giovanni Rotondo, ia berlari-lari ke biara dan berlutut di depan kaki Padre Pio. Sang biarawan menyuruhnya berdiri. Kata gadis itu, “Berkatilah aku, Padre… berkatilah aku!” Maka, dengan gerakan tangan Padre Pio membuat Tanda Salib atasnya, tetapi Grazia masih terus menanti untuk diberkati. Sesungguhnya, kala ia masih buta, Padre Pio biasa memberkatinya dengan membuat Tanda Salib dengan tangannya di dahi sang gadis. Melihat Grazia masih terus menunggu, Padre Pio berkata, “Jadi, bagaimanakah engkau ingin diberkati? Dengan seember air yang disiramkan ke atas kepalamu?”

Seorang wanita mengisahkan, “Pada tahun 1952, kandunganku normal, tetapi pada saat melahirkan timbul masalah. Puteraku dilahirkan dengan komplikasi dan aku membutuhkan transfusi darah. Karena darurat dan tergesa, mereka tidak memeriksa dengan benar golongan darah yang aku butuhkan. Golongan darahku `O' tetapi mereka memberiku darah `A'. Konsekuensinya amat fatal: demam tinggi, kejang-kejang, penyempitan paru-paru di samping masalah-masalah kesehatan lainnya. Seorang imam bahkan dipanggil untuk memberiku viaticum; imam harus memberikan Hosti Kudus dengan sedikit air sebab kondisiku sangatlah buruk. Kala kerabatku mengantarkan imam keluar, aku tinggal seorang diri. Saat itulah Padre Pio menampakkan diri kepadaku dengan menunjukkan stigmata di kedua tangannya. Katanya, `Aku Padre Pio, engkau tidak akan mati! Marilah bersamaku mendaraskan Doa Bapa Kami dan di kemudian hari engkau akan datang ke San Giovanni Rotondo untuk menemuiku.' Dampak dari penampakan itu adalah sebagai berikut: aku di ambang ajal beberapa menit sebelumnya dan beberapa menit kemudian aku bangkit berdiri dan duduk. Ketika para kerabat datang kembali ke kamarku, mereka mendapatiku sedang berdoa. Aku mengajak mereka untuk berdoa bersamaku dan aku menceritakan penglihatan itu kepada mereka. Kami berdoa bersama dan kesehatanku mulai pulih kembali. Segenap dokter yakin bahwa suatu mukjizat telah terjadi. Aku pergi ke San Giovanni Rotondo beberapa bulan kemudian guna menyampaikan terima kasih kepada Padre Pio. Aku bertemu muka dengannya dan ia mengulurkan tangannya agar aku dapat menciumnya. Sementara aku berterima kasih kepadanya, tercium olehku bau harum Padre Pio yang termasyhur itu. Kata Padre, `Engkau dianugerahi mukjizat, tetapi janganlah berterima kasih kepadaku. Hati Yesus Yang Mahakudus yang telah mengutusku untuk menyelamatkanmu sebab engkau berdevosi kepada Hati-Nya yang Mahakudus dan engkau juga setia menjalankan Sembilan Jumat Pertama dalam bulan.'”

Tidak ada komentar: