Sarana Komunikasi dan Ruang Kreasi Paroki Padre Pio Helvetia - Medan

Jumat, 04 Februari 2011

Penampakan dan Jiwa-jiwa di Api Penyucian


Padre Pio mulai mendapatkan penampakan semenjak ia masih seorang kanak-kanak. Francesco kecil tidak menceritakannya sebab ia yakin bahwa penampakan demikian merupakan hal yang biasa terjadi pada semua orang. Penampakan tersebut meliputi para malaikat, para kudus, Yesus dan Bunda Maria, tetapi, terkadang juga akan setan.

Pada hari-hari terakhir bulan Desember 1902, sementara ia merenungkan panggilannya, Francesco mendapatkan suatu penglihatan. Inilah cerita yang beberapa tahun kemudian ia sampaikan kepada bapa pengakuannya. “Francesco melihat di sampingnya seorang laki-laki agung yang elok mempesona, bercahaya bagaikan matahari; Ia memegang tangannya dan membesarkan hatinya dengan undangan ini: `Sungguh baik jika engkau bersama-Ku dan bertempur bagaikan seorang ksatria.' Francesco dibimbing ke suatu negeri yang luas, di antara khalayak ramai laki-laki yang terbagi menjadi dua kelompok: di sisi yang satu adalah para laki-laki dengan wajah-wajah elok, berpakaian putih bagaikan salju. Di sisi yang lain adalah para laki-laki dengan wajah-wajah menyeramkan, berpakaian hitam; mereka tampak bagaikan bayangan-bayangan gelap. Francesco ditempatkan di antara kedua kelompok penonton ini dan ia melihat seorang laki-laki yang sangat tinggi, begitu tinggi hingga ia dapat menyentuh awan-awan dengan dahi dan wajahnya yang jelek; laki-laki itu datang menghampirinya. Tokoh yang bercahaya mendesak Francesco untuk maju melawan tokoh raksasa itu. Francesco berdoa agar terhindar dari amuk tokoh aneh itu, tetapi tokoh yang bercahaya tidak menghilang, `Penolakanmu sia-sia belaka. Sungguh baik jika engkau melawan tokoh jahat ini. Mari, percayalah dan majulah ke medan pertempuran dengan gagah berani. Aku akan berada di dekatmu; Aku akan menolongmu dan tak akan membiarkannya mengalahkanmu.' Francesco menyanggupi-Nya dan sungguh sengitlah pertarungan. Dengan pertolongan tokoh bercahaya yang senantiasa ada di dekatnya, Francesco berhasil memenangkan pertempuran. Tokoh raksasa itu terpaksa melarikan diri dan ia membawa bersamanya himpunan besar khalayak dengan wajah-wajah menyeramkan itu, di antara lolongan, kutuk dan raungan. Khalayak yang lain, para laki-laki dengan wajah-wajah yang elok gegap gempita dengan sorak-sorai dan puji-pujian bagi Dia yang telah menolong Francesco yang malang dalam pertarungan sengit itu. Tokoh agung yang bercahaya, yang lebih kemilau dari matahari, menempatkan di atas kepala Francesco yang menang, sebuah mahkota yang amat mengagumkan hingga tak terlukiskan. Tetapi, kemudian mahkota dilepaskan dari kepala Francesco dan tokoh yang baik itu berkata, `Suatu mahkota lain, yang lebih indah dari ini, telah Ku-persiapkan bagimu jika engkau bersedia bertempur dengan tokoh dengan siapa engkau sekarang bertarung. Ia akan selalu datang kembali menyerang; engkau akan melawannya tanpa sedikit pun meragukan pertolongan-Ku. Jangan khawatir akan kekuatannya; Aku akan senantiasa berada di dekatmu; Aku akan selalu menolongmu, dan engkau akan berhasil menang.'” Penglihatan-penglihatan tersebut berlanjut dengan pertempuran-pertempuran yang sesungguhnya dengan si Iblis. Padre Pio berkali-kali bertempur melawan “musuh keji jiwa-jiwa” sepanjang hidupnya. Sesungguhnya, salah satu tujuan utama Padre Pio adalah merenggut jiwa-jiwa dari cengkeraman Iblis.

Padre Pio menceritakan kisah berikut kepada Padre Anastasio. “Suatu sore, kala aku seorang diri di tempat paduan suara untuk berdoa, aku mendengar gemersik jubah dan aku melihat seorang biarawan muda sedang sibuk dekat altar. Tampaknya biarawan muda itu sedang membersihkan kandela dan merapikan jambangan-jambangan bunga. Aku pikir dia adalah Padre Leone yang sedang merapikan altar, dan karena saat makan malam telah tiba, aku menghampirinya dan mengatakan, `Padre Leone, marilah kita santap malam, sekarang bukan saat yang tepat untuk membersihkan dan merapikan altar.'  Tetapi suatu suara, yang bukan suara Padre Leone, menjawab, `Aku bukan Padre Leone.' `Siapakah engkau?' tanyaku. `Aku seorang saudaramu yang menjalani novisiat di sini. Aku ditugaskan untuk membersihkan altar sepanjang tahun novisiat. Sungguh sayang, seringkali aku tidak menyampaikan penghormatan kepada Yesus saat aku melintas di depan altar, dan dengan demikian tidak menghormati Sakramen Mahakudus yang disimpan dalam tabernakel. Karena keteledoran yang serius ini, aku masih tinggal di purgatorium. Sekarang, Tuhan, dengan kebajikan-Nya yang tak habis-habisnya, mengirimku ke sini agar engkau dapat mempercepat saat di mana aku dapat menikmati Firdaus. Tolonglah aku.' Aku yakin bahwa aku bermurah hati kepada jiwa yang menderita itu ketika aku berkata, `Engkau akan berada di Firdaus esok pagi, ketika aku merayakan Misa Kudus.' Jiwa itu pun berteriak, `Sungguh kejam!' Lalu ia menangis dengan sedihnya dan lenyap. Keluh-kesah itu meninggalkan suatu luka yang dalam di hatiku yang aku rasakan dan akan terus kurasakan sepanjang hidupku. Sesungguhnya aku dapat segera mengirimkan jiwa menderita itu ke surga, tetapi aku menghukumnya untuk melewatkan semalam lagi dalam api penyucian.”

Tidak ada komentar: